JAKARTA, kawalnarasi.comMahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu. Dalam putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa setiap partai politik (parpol) peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Putusan ini mencabut aturan yang selama ini membatasi hak parpol dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres berdasarkan perolehan suara atau jumlah kursi di DPR. Hakim MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa keputusan ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat dalam menentukan calon pemimpin mereka. “Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra dalam pembacaan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Saldi juga menegaskan bahwa parpol peserta pemilu tetap diperbolehkan untuk bergabung dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, asalkan tidak mengarah pada dominasi gabungan yang membatasi alternatif pasangan calon. Selain itu, MK mewajibkan setiap parpol untuk mengusulkan pasangan capres-cawapres sebagai syarat untuk mengikuti pemilu, dan akan dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu berikutnya bagi parpol yang tidak mengusulkan pasangan calon.

Revisi UU Pemilu Perlu Pertimbangkan Semua Aspek

Dalam pertimbangan hukum, MK meminta agar revisi Undang-Undang Pemilu 7/2017 memperhatikan prinsip rekayasa konstitusional yang lebih inklusif dan partisipatif. Pembentuk undang-undang, menurut MK, harus memastikan bahwa pengusulan pasangan capres-cawapres tidak didasarkan pada jumlah kursi DPR atau perolehan suara sah nasional, yang selama ini menjadi dasar bagi ambang batas pencalonan.

“Revisi UU Pemilu harus melibatkan partisipasi semua pihak yang berkepentingan, sehingga proses pemilu lebih mencerminkan prinsip demokrasi yang sejati,” kata Saldi.

Penghapusan Presidential Threshold sebagai Langkah Demokratisasi

Salah satu alasan MK menghapus presidential threshold adalah karena aturan ini dianggap membatasi hak konstitusional rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Dengan adanya ambang batas, sejumlah calon yang memenuhi syarat tidak bisa maju karena partai politik tertentu tidak memenuhi syarat pencalonan, sehingga mempersempit pilihan bagi pemilih. “Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi.

MK juga menyatakan bahwa sistem presidential threshold berpotensi hanya menghasilkan dua pasangan calon, yang dapat menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Menurut MK, hal ini dapat mengancam keberagaman (kebinekaan) Indonesia dan memicu ketegangan sosial di kalangan masyarakat yang lebih luas.

Dengan penghapusan presidential threshold ini, MK berharap akan tercipta lebih banyak pilihan calon presiden dan wakil presiden yang lebih representatif, memperkuat demokrasi, dan memberikan kesempatan bagi lebih banyak kandidat untuk maju dalam pemilu.(kn/kpc)